Dalam beberapa tahun terakhir, istilah STEM begitu populer di dunia pendidikan. Science, Technology, Engineering, dan Mathematics digadang-gadang sebagai kunci untuk menyiapkan generasi yang mampu bersaing di era digital. Namun, semakin banyak pendidik dan peneliti yang menyadari bahwa ada satu unsur yang sering terlupakan, yaitu seni. Tanpa seni, pendekatan STEM diibaratkan seperti kapal tanpa layar—memiliki badan yang kokoh, tetapi tidak memiliki arah yang jelas untuk berlayar. Inilah mengapa pendekatan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics) semakin banyak diperbincangkan.
Identitas Penelitian “STEM without art: A ship without a sail”
Salah satu penelitian penting yang menggarisbawahi hal ini adalah karya Chia-Yu Liu dan Chao-Jung Wu berjudul “STEM without art: A ship without a sail”. Paper ini diterbitkan pada tahun 2022 dalam jurnal Thinking Skills and Creativity. Melalui penelitian ini, Liu dan Wu menyoroti bagaimana unsur seni seharusnya tidak hanya menjadi tempelan dalam pendidikan STEAM, melainkan elemen yang krusial untuk membentuk pengalaman belajar yang lebih kaya, kreatif, dan bermakna.
Tiga Wajah “A” dalam STEAM
Salah satu kontribusi besar penelitian ini adalah penjelasan tentang apa sebenarnya arti dari huruf “A” dalam STEAM. Berdasarkan wawancara mendalam dengan 11 pakar STEAM di Taiwan, Liu dan Wu merumuskan tiga dimensi utama seni yang seharusnya diintegrasikan dalam pendidikan. Pertama adalah arts dan aesthetic, yang mencakup apresiasi estetika, makna di balik karya, serta pengalaman indrawi yang memicu refleksi. Kedua adalah contextual understanding, yakni kesadaran sosial dan budaya serta kemampuan mendesain solusi dengan pendekatan berpusat pada manusia. Ketiga adalah creativity, kemampuan untuk berinovasi dengan cara yang relevan, mengeksplorasi, berimajinasi, dan berkolaborasi.
Dengan tiga dimensi ini, seni tidak lagi dipahami hanya sebatas menggambar atau mendekorasi produk sains, melainkan sebagai jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman manusia yang lebih utuh. Seni membuat STEM lebih dekat dengan kehidupan nyata dan memunculkan sisi emosional yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
Strategi Menghidupkan Seni dalam STEAM
Liu dan Wu tidak berhenti pada definisi. Mereka juga mengidentifikasi sepuluh strategi praktis untuk menghadirkan seni secara substansial dalam pendidikan STEAM. Strategi tersebut dikelompokkan ke dalam empat kategori besar: prinsip dasar, arts/aesthetic, contextual understanding, dan creativity. Beberapa di antaranya adalah memberi batasan yang justru mendorong kreativitas, mendorong eksplorasi langsung atau hands-on, menggunakan desain yang berpusat pada manusia, menumbuhkan kolaborasi, dan menghadirkan unsur permainan dalam pembelajaran.
Menariknya, para peneliti menemukan bahwa prinsip “less is more” dapat membuat siswa lebih fokus pada kualitas ide daripada sekadar kuantitas produk. Pendekatan seperti ini juga melatih siswa untuk merancang solusi yang sederhana namun efektif. Selain itu, pengalaman bermain terbukti dapat merangsang imajinasi dan mengurangi tekanan yang sering muncul dalam pembelajaran STEM tradisional.
Konteks Budaya dalam Pendidikan STEAM
Penelitian ini dilakukan di Taiwan, sebuah negara yang sedang gencar mendorong inovasi di bidang pendidikan. Konteks budaya memainkan peran penting, karena integrasi seni dalam STEAM di Asia sering lebih menekankan pada desain dan solusi berbasis kebutuhan manusia. Ini berbeda dengan pendekatan di Amerika Serikat atau Eropa, yang sering menyoroti seni sebagai ekspresi kreativitas atau cara berpikir reflektif.
Meski demikian, temuan Liu dan Wu tetap relevan untuk diterapkan secara global. Elemen seni dalam STEAM tidak hanya memperkuat pemahaman sains dan teknologi, tetapi juga menumbuhkan empati, memperluas wawasan budaya, dan memicu kreativitas lintas disiplin. Dengan kata lain, seni membuat STEM lebih manusiawi.
Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian Liu & Wu
Sebagai penelitian kualitatif berbasis wawancara, studi ini memiliki kekuatan dalam menggali pemahaman mendalam tentang peran seni dalam STEAM. Namun, jumlah partisipan yang relatif kecil dan konteks yang terbatas pada Taiwan membuat hasilnya tidak bisa digeneralisasi secara langsung ke seluruh dunia. Meski begitu, Liu dan Wu memberikan landasan konseptual yang kuat untuk riset lanjutan.
Bagi para peneliti berikutnya, penting untuk menguji strategi yang ditawarkan secara kuantitatif. Apakah benar integrasi seni dengan prinsip hands-on atau pendekatan kolaboratif mampu meningkatkan motivasi siswa terhadap STEM? Apakah kreativitas yang tumbuh melalui pendekatan ini juga berdampak pada hasil belajar konkret di bidang sains dan matematika? Pertanyaan-pertanyaan ini membuka ruang besar untuk penelitian baru.
Mengapa Seni adalah Layar untuk STEM
Dari keseluruhan penelitian ini, pesan yang disampaikan sangat jelas: tanpa seni, STEM kehilangan arah. Sains, teknologi, teknik, dan matematika memang membangun kerangka yang kuat, tetapi seni memberi arah, nilai, dan makna. Seperti kapal tanpa layar yang tidak bisa berlayar, STEM tanpa seni hanya akan bergerak di tempat.
Bagi pendidik, temuan Liu dan Wu mengingatkan bahwa pembelajaran STEAM bukan sekadar menambahkan pelajaran menggambar ke dalam kurikulum sains. Lebih dari itu, seni adalah cara berpikir yang mendorong kreativitas, menghubungkan ilmu dengan manusia, dan membuat proses belajar lebih relevan. Di era ketika inovasi dan empati sama-sama penting, pendidikan STEAM dengan sentuhan seni bisa menjadi fondasi bagi generasi masa depan.




