Dalam beberapa tahun terakhir, istilah STEM begitu populer di dunia pendidikan. Science, Technology, Engineering, dan Mathematics digadang-gadang sebagai kunci untuk menyiapkan generasi yang mampu bersaing di era digital. Namun, semakin banyak pendidik dan peneliti yang menyadari bahwa ada satu unsur yang sering terlupakan, yaitu seni. Tanpa seni, pendekatan STEM diibaratkan seperti kapal tanpa layar—memiliki badan yang kokoh, tetapi tidak memiliki arah yang jelas untuk berlayar. Inilah mengapa pendekatan STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics) semakin banyak diperbincangkan.


STEM vs STEAM: Mengapa Pendidikan Tanpa Seni Seperti Kapal Tanpa Layar


Identitas Penelitian “STEM without art: A ship without a sail”

Salah satu penelitian penting yang menggarisbawahi hal ini adalah karya Chia-Yu Liu dan Chao-Jung Wu berjudul “STEM without art: A ship without a sail”. Paper ini diterbitkan pada tahun 2022 dalam jurnal Thinking Skills and Creativity. Melalui penelitian ini, Liu dan Wu menyoroti bagaimana unsur seni seharusnya tidak hanya menjadi tempelan dalam pendidikan STEAM, melainkan elemen yang krusial untuk membentuk pengalaman belajar yang lebih kaya, kreatif, dan bermakna.


Tiga Wajah “A” dalam STEAM

Salah satu kontribusi besar penelitian ini adalah penjelasan tentang apa sebenarnya arti dari huruf “A” dalam STEAM. Berdasarkan wawancara mendalam dengan 11 pakar STEAM di Taiwan, Liu dan Wu merumuskan tiga dimensi utama seni yang seharusnya diintegrasikan dalam pendidikan. Pertama adalah arts dan aesthetic, yang mencakup apresiasi estetika, makna di balik karya, serta pengalaman indrawi yang memicu refleksi. Kedua adalah contextual understanding, yakni kesadaran sosial dan budaya serta kemampuan mendesain solusi dengan pendekatan berpusat pada manusia. Ketiga adalah creativity, kemampuan untuk berinovasi dengan cara yang relevan, mengeksplorasi, berimajinasi, dan berkolaborasi.

Dengan tiga dimensi ini, seni tidak lagi dipahami hanya sebatas menggambar atau mendekorasi produk sains, melainkan sebagai jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman manusia yang lebih utuh. Seni membuat STEM lebih dekat dengan kehidupan nyata dan memunculkan sisi emosional yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.


Strategi Menghidupkan Seni dalam STEAM

Liu dan Wu tidak berhenti pada definisi. Mereka juga mengidentifikasi sepuluh strategi praktis untuk menghadirkan seni secara substansial dalam pendidikan STEAM. Strategi tersebut dikelompokkan ke dalam empat kategori besar: prinsip dasar, arts/aesthetic, contextual understanding, dan creativity. Beberapa di antaranya adalah memberi batasan yang justru mendorong kreativitas, mendorong eksplorasi langsung atau hands-on, menggunakan desain yang berpusat pada manusia, menumbuhkan kolaborasi, dan menghadirkan unsur permainan dalam pembelajaran.

Menariknya, para peneliti menemukan bahwa prinsip “less is more” dapat membuat siswa lebih fokus pada kualitas ide daripada sekadar kuantitas produk. Pendekatan seperti ini juga melatih siswa untuk merancang solusi yang sederhana namun efektif. Selain itu, pengalaman bermain terbukti dapat merangsang imajinasi dan mengurangi tekanan yang sering muncul dalam pembelajaran STEM tradisional.


Konteks Budaya dalam Pendidikan STEAM

Penelitian ini dilakukan di Taiwan, sebuah negara yang sedang gencar mendorong inovasi di bidang pendidikan. Konteks budaya memainkan peran penting, karena integrasi seni dalam STEAM di Asia sering lebih menekankan pada desain dan solusi berbasis kebutuhan manusia. Ini berbeda dengan pendekatan di Amerika Serikat atau Eropa, yang sering menyoroti seni sebagai ekspresi kreativitas atau cara berpikir reflektif.

Meski demikian, temuan Liu dan Wu tetap relevan untuk diterapkan secara global. Elemen seni dalam STEAM tidak hanya memperkuat pemahaman sains dan teknologi, tetapi juga menumbuhkan empati, memperluas wawasan budaya, dan memicu kreativitas lintas disiplin. Dengan kata lain, seni membuat STEM lebih manusiawi.


Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian Liu & Wu

Sebagai penelitian kualitatif berbasis wawancara, studi ini memiliki kekuatan dalam menggali pemahaman mendalam tentang peran seni dalam STEAM. Namun, jumlah partisipan yang relatif kecil dan konteks yang terbatas pada Taiwan membuat hasilnya tidak bisa digeneralisasi secara langsung ke seluruh dunia. Meski begitu, Liu dan Wu memberikan landasan konseptual yang kuat untuk riset lanjutan.

Bagi para peneliti berikutnya, penting untuk menguji strategi yang ditawarkan secara kuantitatif. Apakah benar integrasi seni dengan prinsip hands-on atau pendekatan kolaboratif mampu meningkatkan motivasi siswa terhadap STEM? Apakah kreativitas yang tumbuh melalui pendekatan ini juga berdampak pada hasil belajar konkret di bidang sains dan matematika? Pertanyaan-pertanyaan ini membuka ruang besar untuk penelitian baru.


Mengapa Seni adalah Layar untuk STEM

Dari keseluruhan penelitian ini, pesan yang disampaikan sangat jelas: tanpa seni, STEM kehilangan arah. Sains, teknologi, teknik, dan matematika memang membangun kerangka yang kuat, tetapi seni memberi arah, nilai, dan makna. Seperti kapal tanpa layar yang tidak bisa berlayar, STEM tanpa seni hanya akan bergerak di tempat.

Bagi pendidik, temuan Liu dan Wu mengingatkan bahwa pembelajaran STEAM bukan sekadar menambahkan pelajaran menggambar ke dalam kurikulum sains. Lebih dari itu, seni adalah cara berpikir yang mendorong kreativitas, menghubungkan ilmu dengan manusia, dan membuat proses belajar lebih relevan. Di era ketika inovasi dan empati sama-sama penting, pendidikan STEAM dengan sentuhan seni bisa menjadi fondasi bagi generasi masa depan.

slangenvructh September 06, 2025
Read more ...

Bayangkan jika anak-anak kita hanya diajari berhitung, menghafal rumus, dan menyelesaikan soal ujian. Mereka mungkin jadi jago di kelas, tapi apakah siap menghadapi dunia nyata yang penuh masalah kompleks—dari krisis iklim hingga teknologi kecerdasan buatan (AI) yang kian mendominasi? Pertanyaan inilah yang mendorong para peneliti dari University of Connecticut menulis sebuah artikel penting di jurnal Energy and AI tahun 2022.


Bukan STEM Lagi, Saatnya STEAM


Artikel berjudul “Inclusive STEAM education in diverse disciplines of sustainable energy and AI” ditulis oleh Michelle Skowronek, Renée M. Gilberti, Michael Petro, Christopher Sancomb, Stacy Maddern, dan Jasna Jankovic. Para penulis datang dari berbagai bidang: rekayasa material, desain, studi komunitas, hingga program beasiswa untuk mahasiswa minoritas. Perbedaan latar belakang ini menegaskan pesan utama mereka: pendidikan harus lintas disiplin, tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri.

Tantangan Energi Berkelanjutan dan AI

Energi berkelanjutan dan kecerdasan buatan adalah dua bidang dengan perkembangan tercepat saat ini. Keduanya makin sering berkolaborasi, misalnya AI membantu mengelola smart grids, memprediksi cuaca, atau merancang kota pintar. Namun, keberhasilan teknologi ini tidak hanya soal mesin yang makin pintar, melainkan juga bagaimana manusia menggunakannya secara adil, etis, dan berkelanjutan.

Sayangnya, pendidikan STEM tradisional masih cenderung terpaku pada pola lama. Model ini melatih keterampilan teknis, tetapi terlalu kaku dan berorientasi pada ujian. Anak-anak pintar menghitung, tetapi kurang terbiasa bertanya “mengapa” dan “untuk siapa” teknologi itu dibuat. Lebih parah lagi, akses pendidikan berkualitas tidak merata. Mahasiswa perempuan, minoritas rasial, atau dari keluarga berpenghasilan rendah sering merasa “tidak cocok” di jurusan sains dan teknik. Banyak yang akhirnya mundur di tengah jalan karena merasa minder.

Apa Itu Pendidikan STEAM?

Para penulis menawarkan pendekatan segar: STEAM education. Berbeda dengan STEM, pendekatan ini menambahkan Arts—yang mencakup seni, humaniora, etika, dan bisnis—ke dalam kurikulum. Dengan STEAM, siswa dilatih untuk berimajinasi, berempati, dan berkomunikasi. Mereka tidak hanya tahu cara membuat teknologi, tetapi juga bisa membayangkan dampaknya bagi masyarakat.

Data menunjukkan bahwa tenaga kerja kreatif di Amerika Serikat bahkan lebih besar jumlahnya dibandingkan tenaga kerja murni di bidang sains dan teknik. Dunia kerja masa depan justru menuntut kombinasi kreativitas dan teknologi. AI juga dapat menjadi bagian integral dalam pendidikan STEAM, misalnya membantu personalisasi pembelajaran atau memperkenalkan konsep machine learning sejak sekolah menengah.

Contoh Implementasi STEAM di Dunia

Artikel ini menampilkan berbagai contoh implementasi pendidikan STEAM dan energi berkelanjutan dari berbagai belahan dunia. Di Stanford University, ada proyek MESMERIZE, pusat data berbasis AI yang menekankan keadilan lingkungan dalam transisi energi nol emisi. MIT mengembangkan model pembelajaran berbasis komunitas, salah satunya menghasilkan inovasi alat pelindung diri berkelanjutan selama pandemi.

Ohio State University mendirikan pusat riset energi yang dirancang untuk memicu kolaborasi lintas disiplin. Di Eropa, konsep “living labs” mulai diperluas untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang melibatkan masyarakat secara langsung. Di Nigeria, organisasi lokal memanfaatkan AI untuk menentukan lokasi terbaik pemasangan panel surya, dengan melibatkan warga desa sebagai bagian dari riset.

Tim penulis sendiri juga membangun STEAM Tree di University of Connecticut. Proyek ini berupa pohon tenaga surya dengan desain biomimetik, dilengkapi sistem AI interaktif. Pohon ini bukan hanya sumber energi, tapi juga ruang publik inklusif, tempat masyarakat dapat berkumpul dan belajar.

Mengapa STEAM Penting untuk Masa Depan

Kesimpulannya, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan model pendidikan lama. Jika ingin berhasil dalam transisi menuju energi bersih dan dunia yang lebih adil, kita butuh cara belajar yang inklusif, kreatif, dan lintas disiplin. Pendidikan STEAM bukan sekadar menambahkan seni ke dalam pelajaran sains, tetapi mengubah cara kita melihat pendidikan itu sendiri.

Meski artikel ini lebih banyak menawarkan gagasan daripada data empiris, pesannya jelas: pendidikan harus menjadi jembatan, bukan penghalang. Anak-anak dari kelompok manapun berhak merasa punya tempat di dunia sains dan teknologi. Energi berkelanjutan dan kecerdasan buatan memang bisa mengubah dunia, tetapi hanya jika kita menyiapkan generasi baru yang tidak hanya pintar secara teknis, melainkan juga punya imajinasi luas dan kesadaran sosial yang tajam.

Dengan pendidikan STEAM inklusif, masa depan teknologi bukan hanya soal mesin yang makin cerdas, tetapi juga manusia yang lebih bijak. Itulah kunci agar energi berkelanjutan dan AI benar-benar bisa menjadi kekuatan yang adil bagi semua orang.


written by AI

slangenvructh August 31, 2025
Read more ...

Di balik layar kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya dikelilingi oleh karya industri kreatif. Mulai dari desain kemasan makanan, motif busana, musik yang kita dengarkan di aplikasi streaming, hingga serial drama yang ditonton sebelum tidur, semuanya lahir dari pertemuan antara ide, budaya, dan pasar. Kini, perubahan besar sedang berlangsung: teknologi big data mulai ikut campur dalam menentukan tren, memprediksi selera, bahkan memengaruhi arah perkembangan seni dan budaya. Ulasan ini terinspirasi dari penelitian Huang, X. (2022). Innovation and Development of Cultural and Creative Industries Based on Big Data. Scientific Programming. 


Industri Kreatif: Antara Budaya dan Bisnis

Industri kreatif kini berada di garis depan ekonomi global. Perpaduan antara budaya, seni, dan teknologi membuat sektor ini berkembang pesat, mencakup bidang musik, film, fashion, desain, arsitektur, pariwisata budaya, hingga animasi dan game. Keunikan industri kreatif adalah kemampuannya menghadirkan produk yang bukan hanya fungsional, tetapi juga sarat makna dan identitas.

Di Tiongkok, pertumbuhan industri budaya dan kreatif bahkan mencapai rata-rata 26% per tahun, jauh melampaui industri tradisional. Angka ini menunjukkan bahwa kreativitas telah menjadi motor ekonomi baru, terutama di era digital.


Industri Kreatif di Era Industry 5.0: Budaya, Teknologi, dan Big Data


Apa Bedanya dengan Industri Tradisional?

Perbedaan utama antara industri kreatif dan tradisional terletak pada nilai tambah yang dihasilkan. Produk tradisional menekankan fungsi dasar, sedangkan produk kreatif menambahkan identitas emosional, estetika, dan budaya. Nilai yang dikejar bukan lagi sekadar bahan baku atau proses produksi, melainkan ide, desain, dan kekayaan intelektual.

Struktur kerjanya juga berbeda. Industri kreatif lebih kolaboratif, sering melibatkan kerja lintas sektor, dan sangat bergantung pada teknologi digital serta media baru. Pasar yang disasar pun tidak hanya kebutuhan praktis, tetapi juga keinginan psikologis dan spiritual konsumen.


Seni Desain: Jantung Industri Kreatif

Desain adalah pusat dari industri kreatif karena menjadi jembatan antara gagasan dan produk nyata. Dengan sentuhan desain, sebuah barang bisa berubah dari sekadar alat menjadi simbol gaya hidup. Smartphone, misalnya, tetap berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi desain dan pengalaman pengguna membuatnya punya nilai jauh lebih tinggi.

Desain juga membangun identitas budaya. Motif batik dalam fashion modern adalah contoh bagaimana warisan lokal bisa menjadi bagian dari tren global. Produk semacam ini tidak hanya punya daya saing di pasar internasional, tetapi juga memperkuat rasa kebanggaan terhadap budaya sendiri.

Namun, ada tantangan yang tidak bisa diabaikan. Jika seni desain terlalu tunduk pada mekanisme pasar, ia berisiko kehilangan kebebasannya. Menjaga keseimbangan antara nilai budaya dan nilai komersial menjadi kunci agar industri kreatif tetap sehat.


Big Data: Bahan Bakar Baru Kreativitas

Di era digital, big data muncul sebagai kekuatan baru yang mengubah wajah industri kreatif. Dengan analisis data berskala besar, pelaku industri bisa memahami perilaku konsumen secara detail, mulai dari kebiasaan belanja, selera hiburan, hingga tren gaya hidup.

Big data tidak hanya membantu menentukan harga atau distribusi, tetapi juga mendorong inovasi produk. Platform streaming musik dan film adalah contoh nyata: data tentang lagu atau film yang populer langsung memengaruhi produksi konten berikutnya. Dengan cara ini, big data menjadi motor yang mengarahkan kreativitas agar lebih sesuai dengan kebutuhan pasar.

Dalam visi Industry 5.0, big data dipandang bukan sekadar alat, melainkan strategi besar untuk meningkatkan daya saing global.


Pertumbuhan Industri Kreatif di Tiongkok

Pengalaman Tiongkok memberikan gambaran jelas. Antara 2014–2018, industri kreatif selalu tumbuh lebih cepat dibandingkan GDP nasional. Tahun 2014, pertumbuhannya mencapai 27,8% ketika GDP hanya 13%. Tahun 2017 menjadi puncak dengan 32,8%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi 10,1%.

Pada 2018, nilai industrinya melampaui 10.751 miliar yuan, menjadikannya salah satu sektor ekonomi terbesar. Sub-sektor yang melonjak cepat meliputi televisi, radio, internet, pameran, pariwisata budaya, dan iklan digital. Fakta ini menunjukkan bahwa industri kreatif bukan sekadar pelengkap, melainkan motor ekonomi yang nyata.


Peluang dan Tantangan ke Depan

Menggabungkan budaya, kreativitas, dan big data membuka peluang luar biasa. Produk bisa menjadi lebih estetis sekaligus fungsional, lebih sesuai dengan selera konsumen, dan lebih siap bersaing secara global.

Namun, peluang ini disertai tantangan. Seni dan desain berisiko kehilangan otonominya jika terlalu dikendalikan oleh data pasar. Pekerja kreatif bisa terjebak hanya sebagai penghasil ide yang dieksploitasi teknologi. Selain itu, ada pertanyaan penting: apakah big data hanya akan dipakai untuk keuntungan ekonomi, atau bisa benar-benar memperkaya budaya dan memberi ruang lebih luas bagi ekspresi manusia?


Menyatukan Budaya, Teknologi, dan Manusia

Riset terbaru menekankan bahwa masa depan industri kreatif terletak pada kolaborasi antara budaya, seni desain, dan big data. Kreativitas manusia tetap inti dari semua inovasi, tetapi big data memberi dorongan agar ide-ide itu bisa lebih cepat berkembang dan lebih kuat bersaing di pasar dunia.

Tetap saja, teknologi tidak boleh menggantikan manusia. Nilai budaya, pengalaman, dan imajinasi adalah hal-hal yang membuat karya kreatif benar-benar bermakna. Tantangan terbesar di era Industry 5.0 adalah menjaga keseimbangan: bagaimana industri kreatif bisa tetap menjadi ruang untuk identitas, kebebasan, dan keindahan, sambil tetap relevan dengan kebutuhan ekonomi global.


Written by AI.

slangenvructh August 29, 2025
Read more ...

Siapa yang tidak suka menyebut dirinya kreatif? Kata kreativitas hari ini hadir di mana-mana: dari brosur pemerintah tentang ekonomi kreatif, aplikasi AI yang bisa membuat lukisan dalam hitungan detik, hingga kampanye motivasi yang bilang “setiap orang adalah kreator”. Namun, di balik semua itu, muncul pertanyaan penting: apa sebenarnya makna kreativitas?


Kreativitas Bukan Lagi Sekadar Imajinasi

Pertanyaan ini menjadi pusat pembahasan dalam artikel akademik yang ditulis oleh Hye-Kyung Lee pada tahun 2022. Ia menelusuri bagaimana konsep kreativitas dipakai dalam tiga ranah besar: industri kreatif, kecerdasan buatan (AI), dan kehidupan sehari-hari. Dari sana, ia menunjukkan bagaimana kreativitas bisa dipahami secara sangat berbeda—kadang dimuliakan, kadang dieksploitasi, dan kadang juga dipermudah sampai kehilangan bobotnya.


Rethinking Creativity: Industri Kreatif, AI, dan Kreativitas Sehari-hari


Industri Kreatif: Kreativitas yang Dijadikan Komoditas

Ketika pemerintah berbicara tentang industri kreatif, kata “kreativitas” hampir selalu disandingkan dengan angka-angka ekonomi. Kita mendengar klaim bahwa musik, film, fashion, atau desain digital menyumbang persentase besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, cara pandang ini sering kali menyederhanakan kreativitas menjadi semacam modal ekonomi.

Dalam kerangka ini, kreativitas tidak lagi dilihat sebagai proses penuh perjuangan seorang seniman atau penulis, melainkan sebagai aset yang bisa dipatenkan atau dijadikan kekayaan intelektual. Pekerja kreatif jarang dipandang sebagai manusia yang berjuang dengan waktu, tenaga, dan keterbatasan hidup. Alih-alih, kreativitas direduksi menjadi hasil akhir yang bisa diukur: produk, paten, atau karya yang menghasilkan uang.

Padahal, kenyataannya banyak pekerja seni hidup dalam ketidakpastian. Mereka menghadapi pendapatan yang rendah, pekerjaan serabutan, dan sedikit perlindungan sosial. Inilah paradoks industri kreatif: di satu sisi diagungkan sebagai motor ekonomi, di sisi lain gagal melindungi orang-orang yang justru membuat roda itu berputar.


AI dan Kreativitas: Ancaman atau Kesempatan?

Di sisi lain, kita juga melihat munculnya fenomena baru: AI sebagai kreator. Dari musik yang digarap oleh algoritma, lukisan digital yang “diciptakan” komputer, hingga teks yang ditulis mesin, AI kini mampu menghasilkan karya yang tampak kreatif.

Fenomena ini memunculkan dua sisi yang menarik. Di satu sisi, AI memaksa kita merefleksikan ulang apa itu kreativitas manusia. Jika mesin bisa menghasilkan lukisan indah, lalu apa bedanya dengan pelukis sungguhan? Bukankah kreativitas seharusnya soal gagasan baru, bukan siapa yang membuatnya? Dengan cara ini, AI bisa membantu kita “merehumanisasi” kreativitas dengan mengingatkan betapa pentingnya peran agensi, tubuh, dan pengalaman manusia.

Namun, di sisi lain, AI juga menghadirkan ancaman nyata bagi pekerja kreatif. Banyak perusahaan lebih memilih musik AI atau ilustrasi AI karena lebih murah dan cepat. Hal ini bisa menggusur pekerjaan penulis lepas, desainer grafis, hingga komposer musik. Lebih jauh lagi, muncul kebingungan soal siapa sebenarnya yang berhak disebut kreator: apakah AI, programmer, atau pengguna?

Yang menarik, meski AI mampu menghasilkan karya, penelitian menunjukkan bahwa publik sering menilai lebih rendah karya seni jika tahu bahwa itu dibuat oleh mesin. Hal ini menunjukkan bahwa kita masih sangat menghargai tangan manusia di balik sebuah karya. Kreativitas, bagi banyak orang, bukan hanya soal hasil, tetapi juga soal siapa yang melahirkan karya tersebut.


Kreativitas Sehari-hari: Semua Orang Bisa Jadi Kreator?

Selain industri dan AI, ada juga wacana tentang kreativitas sehari-hari. Pandangan ini menekankan bahwa kreativitas bukan monopoli seniman terkenal atau perusahaan besar. Setiap orang, dari ibu rumah tangga yang merancang menu harian hingga anak muda yang membuat konten di media sosial, bisa disebut kreatif.

Wacana ini terdengar indah karena mendemokratisasi kreativitas. Semua orang diberi ruang untuk mengekspresikan diri, dan tidak ada batasan “elit” yang memonopoli istilah kreatif. Namun, ada sisi lain yang perlu diperhatikan. Ketika semua hal disebut kreatif, kita berisiko mengaburkan perbedaan antara kreativitas amatir dan kerja kreatif profesional.

Akibatnya, semakin sulit bagi pekerja seni untuk membela hak mereka. Jika setiap orang dianggap kreatif dengan caranya masing-masing, mengapa seniman harus mendapat dukungan khusus dari pemerintah atau masyarakat? Dalam kerangka ini, kreativitas bisa kehilangan nilai spesifiknya sebagai hasil kerja serius yang membutuhkan waktu, latihan, dan keahlian mendalam.


Menuju Pemahaman Baru tentang Kreativitas

Dari ketiga ranah ini—industri kreatif, AI, dan kreativitas sehari-hari—Lee menunjukkan bahwa kreativitas bukan lagi istilah yang netral. Ia bisa menjadi alat ekonomi, sumber ancaman sekaligus refleksi, bahkan jargon yang terlalu inklusif hingga kehilangan maknanya.

Lalu, apa artinya bagi kita?

Pertama, kita perlu mengakui bahwa kerja kreatif adalah kerja manusia. Ia melibatkan tenaga, pikiran, emosi, dan waktu. Mengabaikan sisi ini hanya membuat pekerja seni semakin rentan.

Kedua, kita harus berhati-hati dengan AI. Alih-alih hanya dipandang sebagai pengganti manusia, AI bisa menjadi cermin untuk memahami apa yang khas dari kreativitas kita sendiri. Namun, perlindungan pekerja seni juga harus diperkuat agar mereka tidak tergusur oleh algoritma.

Ketiga, kita bisa merayakan kreativitas sehari-hari, tetapi tetap memberi tempat khusus bagi kreativitas profesional. Sama seperti semua orang bisa berlari tetapi atlet tetap mendapat pengakuan, semua orang bisa kreatif tetapi pekerja seni tetap pantas mendapat penghargaan dan dukungan ekstra.


Menjadi Manusia

Kreativitas bukan sekadar kata manis yang dipakai dalam slogan atau laporan pemerintah. Ia adalah sesuatu yang kompleks, penuh kontradiksi, dan terus berubah sesuai konteks zaman. Dari industri kreatif yang terlalu ekonomistik, AI yang mengguncang definisi seni, hingga kreativitas sehari-hari yang tampak sederhana namun berimplikasi besar—semua mengingatkan kita bahwa kreativitas perlu dipahami dengan lebih kritis.

Pada akhirnya, kreativitas adalah tentang menjadi manusia: kemampuan kita untuk mencipta, berimajinasi, dan memberi makna pada dunia. Dan justru karena itu, kreativitas tidak bisa direduksi menjadi angka, mesin, atau jargon belaka.


(witten by AI)

slangenvructh August 29, 2025
Read more ...

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah industri kreatif menjadi populer di banyak negara, termasuk Indonesia dan Australia. Pemerintah, akademisi, hingga pelaku usaha kerap menyebutnya sebagai motor penggerak ekonomi baru. Istilah ini mencakup berbagai sektor: musik, film, fashion, desain, media digital, bahkan arsitektur dan periklanan.


Industri Kreatif: Antara Imajinasi dan Kapitalisme

Namun, muncul pertanyaan penting: apakah industri kreatif benar-benar kreatif? Atau, jangan-jangan istilah ini hanya sekadar label ekonomi yang membungkus praktik kerja biasa dengan aura kebaruan?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alexia Cameron dan Anna Hickey-Moody (2024) mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan membaca ulang industri kreatif melalui filsafat Gilles Deleuze, mereka mengajak kita berpikir lebih kritis tentang apa yang dimaksud dengan kreativitas dan bagaimana kreativitas dijalankan dalam industri.


Seberapa Kreatif Sebenarnya Industri Kreatif? Membaca Ulang dengan Deleuze


Menggugat “Kreativitas”

Kita mulai dari tiga pertanyaan utama:
  1. Seberapa kreatif industri kreatif itu sendiri?
  2. Bagaimana wacana tentang kreativitas dibentuk dan digunakan dalam kebijakan maupun praktik kerja?
  3. Bagaimana teori Deleuze bisa membantu kita memahami kreativitas secara lebih mendalam, melampaui definisi formal yang sempit?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena istilah “kreativitas” sering dipakai sebagai kata kunci dalam kebijakan publik maupun pemasaran, tetapi jarang dijelaskan secara serius.


Hipotesis: Kreativitas yang Dikooptasi

Meskipun tidak berbentuk hipotesis kuantitatif, penulis mengajukan asumsi kritis:

  • Industri kreatif lebih sering mereproduksi logika kapitalisme daripada benar-benar membuka ruang bagi imajinasi baru.
  • Kreativitas dalam kebijakan publik diperlakukan sebagai alat regulasi ekonomi, bukan sebagai kekuatan pembaruan sosial atau seni.
  • Melalui kacamata Deleuze, kreativitas seharusnya dipahami sebagai proses menjadi (becoming), diferensiasi, dan resistensi terhadap klise.


Membaca dengan Filsafat

Penelitian ini tidak mengumpulkan data survei atau angka-angka statistik. Sebaliknya, metode yang digunakan adalah kajian pustaka, analisis wacana, dan pembacaan filosofis.

Sumber data utama berasal dari:

  • Dokumen kebijakan tentang industri kreatif di Australia.
  • Laporan ekonomi kreatif yang digunakan pemerintah dan lembaga riset.
  • Tulisan teoretis tentang kreativitas, termasuk karya Deleuze dan Guattari.

Dengan pendekatan ini, penulis membandingkan antara definisi birokratis tentang kreativitas dan pemahaman filosofis tentang kreativitas.


Antara Kreativitas dan Klise

1. Industri Kreatif Sering Kali Tidak Kreatif

Meskipun disebut “kreatif”, banyak sektor yang justru bekerja dalam logika repetisi kapitalisme. Misalnya, periklanan dan marketing lebih menekankan penjualan produk daripada penciptaan gagasan baru. Industri ini menghasilkan klise, bukan terobosan.

2. Kreativitas Jadi Retorika Regulatf

Kata “kreatif” dipakai pemerintah untuk membenarkan kebijakan tertentu, misalnya dalam pembiayaan, regulasi, atau strategi ekonomi. Kreativitas di sini tidak lagi soal seni atau imajinasi, melainkan indikator ekonomi yang bisa diukur dalam angka.

3. Perspektif Deleuze: Kreativitas = Proses Menjadi

Bagi filsuf Gilles Deleuze, kreativitas bukan soal produk jadi, melainkan soal proses diferensiasi tanpa henti. Kreativitas sejati lahir dari upaya melawan klise, menemukan jalur baru, dan menghadirkan pengalaman yang belum pernah ada.

4. Jurang antara Wacana dan Praktik

Ada perbedaan besar antara cara kreativitas dibicarakan di level kebijakan dengan kenyataan di lapangan. Misalnya, banyak pekerja seni muda di Australia justru bekerja serabutan, dengan pendapatan tidak menentu, meskipun pemerintah menyebut sektor ini motor ekonomi.

5. Implikasi: Perlu Pemahaman Kritis

Industri kreatif seharusnya tidak hanya dipahami sebagai mesin ekonomi. Ia juga perlu dilihat sebagai ruang sosial, budaya, dan politik tempat kreativitas sejati bisa muncul, kreativitas yang melampaui nilai komersial.


Deleuze dan Konsep Minor Arts

Salah satu sumbangan penting artikel ini adalah membedakan seni mayor dan seni minor.

  • Seni mayor: seni arus utama yang sudah dilembagakan, seperti balet, musik klasik, film blockbuster.
  • Seni minor: seni alternatif atau marginal seperti street art, hip hop komunitas, zine, mode independen, hingga eksperimen digital.

Menurut Deleuze, justru dalam seni minor lah kreativitas sejati sering muncul, karena di situlah ada perlawanan terhadap norma dan produksi klise. Sayangnya, dalam kebijakan industri kreatif, seni minor sering kurang diperhitungkan dan minim dukungan finansial.


Fabulation dan Affective Power

Deleuze juga memperkenalkan konsep fabulation: kemampuan seni untuk menciptakan dunia baru, bukan sekadar meniru realitas. Dalam seni, imajinasi dapat menghasilkan “orang-orang yang akan datang”, membuka kemungkinan masa depan yang berbeda.

Kreativitas sejati tidak hanya soal output ekonomi, tetapi juga soal afek: kekuatan yang mengguncang, mengubah cara kita berpikir, dan memaksa kita memahami realitas dengan cara baru.


Apa Artinya untuk Masa Depan Industri Kreatif?

Artikel ini memberi pesan penting: jika kita hanya mengukur kreativitas dengan angka (jumlah pekerja, kontribusi GDP, atau volume produksi), kita kehilangan esensi kreativitas itu sendiri.

Industri kreatif seharusnya menjadi ruang bagi:

  • Eksperimen artistik yang melawan klise.
  • Seni minor yang memberi alternatif terhadap arus utama.
  • Pekerja seni muda yang tidak hanya dipandang sebagai alat ekonomi, tetapi juga sebagai pencipta masa depan budaya.


Menjadi Lebih dari Sekadar Ekonomi

Kreativitas bukan sekadar kata kunci untuk branding industri. Ia adalah kekuatan hidup, kekuatan yang memungkinkan masyarakat bergerak, berubah, dan berimajinasi di luar batas yang sudah ditentukan.

Dengan membaca ulang industri kreatif melalui Deleuze, Cameron dan Hickey-Moody menekankan bahwa kita perlu kebijakan baru:

  • yang menghargai proses, bukan hanya produk,
  • yang mendukung seni minor, bukan hanya seni mayor,
  • dan yang melihat kreativitas sebagai cara menjadi manusia, bukan sekadar cara mencari keuntungan.

Jika kita bisa memandang kreativitas dengan cara ini, maka istilah industri kreatif akan benar-benar berarti.


(writen by AI)
slangenvructh August 29, 2025
Read more ...